Oleh : Ira Cinta
Lestari*
Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan menyelenggarakan dua jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesahatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap.
Dalam perkembangannya pelayanan rumah sakit tidak terlepas dari pembangunan
ekonomi masyarakat. Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik RS
yang pada awalnya hanya memberikan pelayanan yang bersifat penyembuhan
(kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap. Pelayangan RS kemudian bergeser
karena kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran, peningkatan
pendapatan dan pendidikan masyarakat.
Pelayanan kesehatan di RS saat ini tidak saja bersifat kuratif
(penyembuhan), tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Keduanya
dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif). Dengan demikian, sasaran pelayanan kesehatan RS bukan
hanya untuk individu pasien, tetapi juga berkembang untuk keluarga pasien dan
masyarakat umum. Fokus perhatiannya memang pasien yang datang atau yang dirawat
sebagai individu dan bagian dari keluarga. Atas dasar sikap seperti itu
pelayanan kesehatan di RS merupakan pelayanan kesehatan yang paripurna
(komperhensif dan holistik).
Pelayanan RS di Indonesia saat ini sudah bersifat padat modal, padat karya,
dan padat teknologi dalam menghadapi persaingan global. Dalam hal rujukan
medik, RS juga diandalkan untuk memberikan pengayoman medik (pusat rujukan)
untuk pusat-pusat pelayanan yang ada di wilayah kerjanya. Sifat pengayoman
sangat erat kaitannya dengan klasifikasi Rumah Sakit. Ada empat jenis RS
berdasarkan klasifikasi perumahsakitan di Indonesia yaitu kelas A, B, C, dan D.
Kelas RS yang lebih tinggi (A) mengayomi kelas Rumah Sakit yang lebih
rendah dan mempunyai pengayoman wilayah yang lebih luas. Pengayoman
dilaksanakan melalui dua sistem rujukan yaitu sistem rujukan kesehatan
(berkaitan dengan upaya promotif dan preventif seperti bantuan teknologi,
bantuan sarana dan operasionalnya) dan rujukan medik (berkaitan dengan
pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif). Berubahnya RS kelas A dan B
menjadi RS seadanya, bahkan ada yang menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan),
menejemen klasik RS di Indonesia sudah pasti mengalami perubahan.
Perubahan dalam hal peningkatan profesionalisme staf, tersedianya peralatan
yang lebih canggih, dan lebih sempurnanya sistem administrasi RS yang akan
bermanfaat untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan RS
Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis
pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam RS yaitu
RS Pemerintah (RS Pusat, RS Propinsi, RS Kabupaten), RS BUMN/ABRI, dan RS
Swasta yang menggunakan dana investasi dari sumbar dalam negeri (PMDN) dan
sumber luar negeri (PMA). Jenis RS yang kedua adalah RS Umum, RS Jiwa, RS
Khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kanker, dsb). Jenis RS yang
ketiga adalah RS kelas A, kelas B (pendidikan dan non-pendidikan), RS kelas C
dan RS kelas D (Kepmenkes No.51 Menkes/SK/II/1979). Pemerintah sudah
meningkatkan status semua RS Kabupaten menjadi kelas C.
Kelas RS juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Pada RS
kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk spesialistik. RS
kelas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik
terdaftar. RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah,
penyakit dalam, kebidanan, dan anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan
medis dasar. Keputusan Menteri Kesehatan No.134 Menkes/SK/IV/78 Th.1978 tentang
susunan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum di Indonesia antara lain:
Pasal 1 : Rumah Sakit Umum adalah organisasi di
lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Dirjen Yan Medik.
Pasal 2 : Rumah Sakit Umum mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan kesehatan (caring) dan penyembuhan (curing) penderita
serta pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa (rehabilitation).
Pasal 3 : Untuk menyelenggarakan tugas tersebut RS
mempunyai fungsi :
- Melaksanakan usaha pelayanan medik
- Melaksanakan usaha rehabilitasi medik
- Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan peningkatan pemulihan kesehatan
- Melaksanakan usaha perawatan
- Melaksanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan paramedis
- Melaksanakan sistem rujukan
- Sebagai tempat penelitian
Pasal
4 :
- RS Umum yang dimaksud dalam keputusan ini adalah RS kelas A, kelas B, kelas C.
- RS Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang spesialistik dan subspesialistik yang luas
- RS Umum kelas B adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan spesialistik yang luas.
- RS Umum kelas C adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan spesialistik paling sedikit empat spesialis dasar yaitu: Penyakit Dalam, Penyakit Bedah, Penyakit Kebidanan/Kandungan, dan Kesehatan Anak.
SUSUNAN
ORGANISASI RSU DI INDONESIA
Untuk Rumah
Sakit Umum kelas A, susunan organisasinya diatur sesuai dengan SK Menkes No.
543/VI/1994 adalah sebagai berikut.
- Direktur
- Wakil Direktur yang terdiri dari:
- Wadir Pelayanan Medik dan Keperawatan
- Wadir Penunjang Medik dan Instalasi
- Wadir Umum dan Keuangan
- Wadir komite Medik
Tiap-tiap Wadir diberikan tanggung jawab dan wewenang mengatur beberapa
bidang/bagian pelayanan dan keperawatan serta instalasi. Instalasi RS diberikan
tugas untuk menyiapkan fasilitas agar pelayanan medik dan keperawatan dapat
terlaksana dengan baik. Instalasi RS dipimpin oleh seorang kepala yang
diberikan jabatan non struktural. Beberapa jenis instalasi RS yang ada pada RS
kelas A adalah instalasi rawat jalan, rawat darurat, rawat inap, rawat
intensif, bedah sentral, farmasi, patologi klinik, patologi anatomi, gizi,
laboratorium, perpustakaan, pemeliharaan sarana rumah sakit (PSRS), pemulasaran
jenazah, sterilisasi sentral, pengamanan dan ketertiban lingkungan, dan binatu.
Komite Medik (KM) juga diberikan jabatan nonstruktural yang fungsinya menghimpun
anggota yang terdiri dari para kepala Staf Medik Fungsional (SMF). KM diberikan
dua tugas utama yaitu menyusun standar pelayanan mediks dan memberikan
pertimbangan kepada direktur dalam hal:
- Pembinaan, pengawasan dan penelitian mutu palayanan medis, hak-hak klinis khusus lepada SMF, program pelayanan medis, pendidikan dan pelatihan (diklat), serta penelitian dan pengembangan (litbang).
- Pembinaan tenaga medis dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan etika profesi.
Semua kepala SMF diangkat oleh Dirjen Yan. Medik Depkes RI berdasarkan
usulan dari Direktur RS. Dengan mengkaji struktur organisasi dan tugas-tugas
pokok RS, dapat dibayangkan bahwa manajemen sebuah RS hampir mirip dengan
manajemen hotel. Yang berbeda, tujuan mereka yang berkunjung dan jenis
pelayanannya. Masyarakat yang berkunjung ke RS bertujuan untuk memperoleh
pelayanan medis karena kejadian sakit yang dideritanya, sedangkan mereka yang
berkunjung ke hotel adalah untuk bersenag-senang.
Pembentukan KM di RS sangat diperlukan untuk membantu tugas-tugas direktur
RS dalam menjaga mutu dan etika pelayanan RS. KM dibentuk berdasarkan SK Dirjen
Yan. Medik Depkes RI sesuai dengan usul Direktur RS. Masa kerja Wadir KM adalah
tiga tahun. Di bawah Wadir KM terdapat panitia infeksi nasokomial, panitia
rekam medis, farmasi da terapi, audit medik, dan etika.
SMF yang menggantikan UPF ( Unit Pelaksanaan Fungsional) terdiri dari
dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Mereka
mempunyai tugas pokok menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, pencegahan
penyakit, peningkatan dan pemulihan kesehatan, penyuluhan, pelatihan dan
penelitian pengembangan pelayanan medis. Untuk RS kelas A jumlah SMF yang
dimiliki minimal 15 buah yakni(1) Bedah (2) Kesehatan Anak (3) Kebidanan dan
Penyakit Kandungan (4) Penyakit Dalam (5) Penyakit Saraf (6) Penyakit Kulit dan
Kelamin (7) THT (8) Gigi dan Mulut (9) Mata (10) Radiologi (11) Patologi Klinik
(12) Patologi Anatomi (13) Kedokteran Kehakiman (14) Rehabilitasi Medik (15)
Anestesi.
Masing-masing Wadir juga dilengkapi sekretariat khusus dan bidang-bidang
yang dibagi lagi menjadi subbagian dan seksi ( sesuai dengan SK Menkes
No. 134). Susunan RSU kelas B hampir sama dengan kelas A. Bedanya hanya
terletak pada jumlah dan jenis-jenis masing-masing SMF. Untuk RSU kelasB tidak
ada subspesialisasinya.
Susunan organisasi RS kelas C dan D lebih sederhana jika dibandingkan
dengan kelas A dab B. Di sini tidak ada wakil direktur, tetapi dilengkapi
dengan staf khusus yang mengurus administrasi. Kondisi ini berpengaruh pada
jenis pelayanan medis dan jumlah staf profesional (medis dan paramedis) yang
dipekerjakan pada tiap-tiap RS ini. Secara umum, jenis kebutuhan masyarakat
akan pelayanan kesehatan juga akan ikut menentukan peningkatan kelas sebuah RS
di suatu wilayah, terutama yang berlokasi di ibu kota provinsi.
PENERAPAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT
Rumah sakit perlu menerapkan sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan. Untuk itu rumah sakit di Indonesia harus menciptakan kinerja yang
unggul. Kinerja yang unggul atau Performance Excellence merupakan salah
satu faktor utama yang harus diupayakan oleh setiap organisasi untuk
memenangkan persaingan global, begitu juga oleh perusahaan penyedia jasa
pelayanan kesehatan.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pengelola rumah sakit untuk
menciptakan kinerja yang unggul diantaranya melalui pemberian pelayanan yang
bagus serta tindakan medis yang akurat dan mekanisme pengelolaan mutu tentunya.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh pengelola rumah sakit swasta dalam
mempertahankan atau meningkatkan jumlah konsumen adalah pelayanan. Tuntutan
untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan nyaman semakin meningkat,
sesuai dengan meningkatnya kesadaran arti hidup sehat. Keadaan ini dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat yang perlu
mendapat perhatian dari pengelola rumah sakit.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, di setiap kota besar seperti
Jakarta banyak sekali usaha rumah sakit dengan kualitas pelayanan dan peralatan
medis yang prima dapat kita temukan di setiap sudut kota, sehingga masyarakat
konsumen yang tadinya harus ke luar negeri demi servis dan kualitas dokter yang
prima, sekarang tidak perlu lagi ke luar negeri.
Dalam usaha peningkatan kualitas pelayanan terhadap konsumen, rumah sakit
berusaha untuk mempunyai tenaga dokter ahli yang tetap, sekaligus
memperkerjakan dokter waktu dan dokter kontrak. Bahkan di beberapa rumah sakit
di kota besar seperti Jakarta dapat kita jumpai pelayanan Unit Gawat Darurat
(UGD) yang ditangani oleh dokter tetap maupun dokter kontrak.
Bahkan ada rumah sakit yang menyediakan tempat dan sarana lengkap seperti
laboratorium dengan tenaga analis, radiologi dan tempat perawatan yang serba
lengkap. Sedangkan untuk tenaga dokternya mereka mengambil dokter-dokter
spesialis yang terkenal dan pengelola rumah sakit menganggap dokter spesialis
dan pasiennya sebagai “customer” mereka Untuk menjaga agar dokter
spesialis ternama tersebut tetap menjadi customer mereka, maka pihak
rumah sakit melakukan strategi sedemikian rupa. Diantaranya dengan menyediakan
peralatan medis yang dikehendaki oleh para dokter tersebut. Sedangkan untuk
menghasilkan mekanisme pengelolaan mutu yang bagus, perusahaan dalam hal ini
rumah sakit perlu menerapkan metode pengukuran yang efektif untuk dapat
menganalisis dan menemukan dimensi mutu 0 yang perlu diperbaiki atau
ditingkatkan untuk mencapai mutu yang tinggi. Salah satu model pengukuran yang
sudah dikenal luas dan terbukti secara efektif membantu keberhasilan penerapan
sistem manajemen mutu adalah sistem Malcolm Baldrige National Quality Award. Malcolm
Baldrige National Quality Awards (MBNQA) merupakan sistem manajemen yang
sangat efektif untuk menghasilkan loyalitas pelanggan dan kinerja tinggi bila
diterapkan dengan tepat.
Kriteria penilaian/pengukuran kinerja yang dimiliki oleh MBNQA juga dapat
digunakan oleh industri jasa pelayanan kesehatan, yang disebut dengan Performance
Excellence for Health Care based on MBNQA. Kriteria dari Performance
Excellence for Health Care based on MBNQA terdiri dari 7 kategori, yaitu: Health
Care Results, Patient -and Other Customer- Focused Results, Financial and
Market Results, Staff and Work System Results, Organizational Effectiveness
Results, Governance and Social Responsibility Results.
Dengan penerapan sistem manajemen mutu secara menyeluruh dan model
pengukuran tepat maka perusahaan akan menjadi perusahaan kelas dunia yang siap
memenangkan persaingan. Dalam penerapannya, manajemen di rumah sakit dapat
dilihat dari fungsi perencanaan rumah sakit dan fungsi pergerakan dan
pelaksanaan rumah sakit.
FUNGSI PERENCANAAN RUMAH SAKIT
Perencanaan merupakan proses yang menyangkut upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan strategi
dan taktik yang tepat untuk mewujudkan target dan tujuan suatu
organisasi. Ada dua alasan mengapa perencanaan diperlukan yaitu untuk mencapai
“Protective bennefits” yaitu merupakan hasil dari pengurangan kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan dan “Positive benefit” yaitu
untuk peningkatan pencapaian tujuan organisasi.
Fungsi perencanaan di bidang kesehatan adalah proses untuk merumuskan masalah-masalah
kesehatan di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia,
menetapkan tujuan program yang paling pokok, dan menyusun langkah-langkah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan merupakan fungsi yang
penting karena akan menentukan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya dan
merupakan landasan dasar dari fungsi manajemen secara keseluruhan. Perencanaan
manajerial akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap semua
pekerjaan yang akan dijalankan, siapa yang akan melakukan dan kapan akan
dilakukan. Perencanaan merupakan tuntutan terhadap proses pencapaian tujuan
secara efektif dan efisien.
Melalui
perencanaan program di rumah sakit akan dapat diketahui:
- Tujuan program di rumah sakit dan bagaimana cara mencapainya.
- Jenis dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.
- Struktur organisasi rumah sakit yang dibutuhkan.
- Jumlah dan jenis kualifikasi staf yang diinginkan, dan uraian tugasnya.
- Sejauh mana efektifitas kepemimpinan di rumah sakit.
- Komunikasi serta bentuk dan standar pengawasan yang perlu dikembangkan oleh manajer dan perlu dilaksanakan.
Keuntungan
perencanaan rumah sakit yang baik:
- Aktifitas di rumah sakit lebih terarah untuk mencapai tujuan.
- Mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan yang tidak produktif.
- Alat pengukur hasil kegiatan yang dicapai.
- Memberikan landasan pokok fungsi manajemen lainnya yaitu fungsi pengawasan.
Kerugian
perencanaan rumah sakit:
- Keterbatasan dalam ketepatan informasi dan fakta-fakta tentang masa yang akan datang.
- Memerlukan biaya yang cukup besar.
- Hambatan psikologis.
- Menghambat timbulnya inisiatif.
- Terhambatnya tindakan yang perlu diambil.
Langkah-langkah
Perencanaan Rumah Sakit:
1. Analisis
situasi
Tujuannya
adalah untuk mengumpulkan data atau fakta. Analisis situasi ini melibatkan
beberapa aspek ilmu yaitu:
- Epidemiologi (distribusi penyakit dan determinannya) yakni kelompok penduduk sasaran (who) yang menderita kejadian tersebut, dimana, kapan masalah tersebut terjadi. Misalnya: data jenis penyakit yang dapat dicegah dari imunisasi.
- Antropologi (aspek budaya dan perilaku sehat, sakit masyarakat)
- Demografi (angka-angka vital statistik). Misalnya: berdasarkan kelompok umur, jumlah kelahiran dan kematian, jumlah AKI dan sebagainya.
- Statistik (mengolah dan mempresentasikan data).
- Ekonomi (pembiayaan kesehatan) meliputi pendapatan, tingkat pendidikan, norma sosial, dan sistem kepercayaan masyarakat.
- Geografis yaitu meliputi semua informasi karakteristik wilayah yang dapat mempengaruhi masalah tersebut.
- Organisasi pelayanan meliputi motivasi kerja staf dan kader, keterampilan, persediaan vaksin dan sebagainya.
Jenis informasi
yang diperlukan untuk perencanaan adalah:
- Penyakit dan kejadian sakit di wilayah kerja.
- Data kependudukan.
- Jenis dan organisasi pelayanan kesehatan yang tersedia.
- Keadaan lingkungan dan aspek geografisnya.
- Sarana dan sumber daya penunjang.
Pengumpulan
data dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, yaitu:
- Mendengarkan keluhan masyarakat di lapangan.
- Membahas masalah-masalah kesehatan dengan tokoh-tokoh formal dan informal masyarakat.
- Membahas masalah-masalah bersama petugas lapangan kesehatan.
- Membaca laporan kegiatan program kesehatan.
- Mempelajari peta wilayah, sensus penduduk, laporan khusus, hasil suatu survei, juklak program, laporan tahunan.
Masalah
kesehatan tersebut meliputi:
- Masalah penyakit (medis), intervensi medis yaitu diagnosa penyakit, pengobatan dan tindak lanjut.
- Masalah kesehatan masyarakat (Public health), surveilen, analisis epidemiologi, intervensi yaitu promosi kesehatan, perlindungan spesifik atau imunisasi dan deteksi dini.
2.
Mengidentifikasi masalah dan prioritasnya
Masalah dapat
dibagi dalam tiga kategori yaitu masalah tentang penyakit, masalah manajemen
pelayanan kesehatan (masalah program), dan masalah perilaku, sikap dan
pengetahuan masyarakat. Prioritas masalah secara praktis dapat ditetapkan
berdasarkan pengalaman staf, dana, dan mudah tidaknya maslah dipecahkan.
Prioritas masalah dijadikan dasar untuk menentukan tujuan.
Contoh masalah
tentang penyakit antara lain KIA/ KB, tingginya prevalensi anemia pada remaja
putri dan wanita hamil, partus kasep, kematian ibu bersakin, BBLR, kematian
neonatal dan perinatal (misalnya akibat tetanus neonatorum, ISPA, diare),
infertility, mioma, Ca. Cervix, Ca. Mammae serta masalah komplikasi pemakaian
IUD.
Contoh masalah
program adalah sebagai berikut:
- Masalah input, jumlah staf kurang, keterampilan dan motivasi kerja rendah, peralatan kurang memadai, jenis obat yang tersedia tidak sesuai.
- Masalah proses, terkait dengan fungsi manajemen (POAC) yaitu kurang jelas tujuan program, kurang jelas rumusan masalah program (Planning), pembagian tugas tidak jelas (Organizing), kepemimpinan kurang (Actuating), pengawasan atau supervisi lemah (Controlling).
Contoh masalah
manajemen pelayanan kesehatan antara lain tingginya jumlah anak yang menderita
diare, air minum yang terkontaminasi air limbah, kebutuhan masyarakat akan
penyuluhan kesehatan, banyaknya tumpukan sampah di sepanjang jalan umum,
pemilikan jamban keluarga yang masih rendah, kurangnya persediaan oralit di
Posyandu dan tervatasnya jumlah staf yang mampu melakukan deteksi dini diare.
Yang menjadi prioritas atau masalah utama adalah tingginya jumlah anak yang
menderita diare.
Kriteria
penetapan prioritas masalah kesehatan:
- Apakah masalah tersebut menimpa sebagian besar penduduk?
- Apakah masalah tersebut potensial sebagai penyebab tingginya kematian bayi?
- Apakah masalah tersebut mempengaruhi kesehatan dan kematian anak balita?
- Apakah masalah tersebut mengganggu kondisi kesehatan dan mengakibatkan kematian ibu hamil?
- Apakah masalah kesehatan tersebut bersifat kronis, mnimbulkan kecatatan, dan mengganggu produktifitas kerja masyarakat di suatu wilayah?
- Apakah masalah tersebut mengakibatkan kepanikan masyarakat secara luas?
Kriteria
berdasarkan fisibilitas di lapangan:
- Apakah daerah itu mudah dicapai?
- Bagaimana partisipasi masyarakat setempat?
- Berapa cakupan kegiatan program yang telah mampu dicapai selama ini?
- Apakah masalah kesehatan tersebut adalah salah satu prioritas program kesehatan nasional?
- Apakah masalah kesehatan tsb. dapat dipecahkan dengan potensi yg. Ada?
3. Penentuan
tujuan program
Kriteria
penentuan tujuan program:
- Tujuan adalah hasil yang diinginkan (tolok ukur keberhasilan kegiatan).
- Tujuan harus sesuai dengan masalah, bisa dicapai, bisa diukur, bisa dilihat hasilnya.
- Tujuan penting untuk membuat perencanaan dan mengevaluasi hasilnya.
- Target operasional berhubungan dengan waktu.
- Tetapkan kegiatan program untuk mencapai tujuan.
- Tetapkan masalah dan faktor-faktor penghambat sebelum tujuan dan target operasional ditetapkan.
Contoh: Untuk
meningkatkan cakupan pemeriksaan antenatal care ibu-ibu hamil, dirumuskan
tujuan pelayanan “meningkatnya cakupan K1 (kunjungan ibu hamil yang pertama)
dari 80% menjadi 100%, dan K4 60% menjadi 80%”. Perlu didistribusikan bidan di
setiap desa. Perlu penyediaan kit bidan lengkap.
4. Mengkaji
hambatan dan kelemahan program
Sebelum
menentukan tolak ukur, perlu dipelajari hambatan-hambatan program kesehatan
yang pernah dialami atau diperkirakan baik yang bersumber dari masyarakat,
lingkungan, Puskesmas maupun dari sektor lainnya.
Hambatan
program dalam manajemen rumah sakit antara lain:
- Hambatan pada sumber daya yaitu meliputi motivasi yang rendah pada staf pelaksana, partisipasi masyarakat yang rendah, peralatan tidak lengkap, informasi tidak valid, dana yang kurang dan yang waktu kurang.
- Hambatan pada lingkungan yaitu meliputi geografis (jalan rusak), iklim, tingkat pendidikan rendah, sikap dan budaya masyarakat (mitos, tabu, salah persepsi) serta perilaku masyarakat yang kurang partisipatif.
Langkah-langkah
yang perlu dilakukan adalah membuat daftar hambatan dan kendala program
kemudaian mengeliminasi, memodifikasi, serta mengurangi yang tidak bisa
dilakukan dan menyesuaikannya dengan tujuan operasional kegiatan program.
5. Membuat
rencana kerja operasional
Dengan Rencana
Kerja Operasional (RKO) akan memudahkan pimpinan mengetahui sumber daya yang
dibutuhkan dan sebagai alat pemantau. Pembahasan rencana kerja operasional
meliputi:
- Mengapa kegiatan ini penting dilaksanakan?
- Apa yang akan dicapai?
- Bagaimana cara mengerjakannya?
- Siapa yang akan mengerjakan dan siapa sasaran kegiatannya?
- Sumber daya pendukung?
- Dimana kegiatan akan dilaksanakan?
- Kapan kegiatan ini akan dikerjakan?
FUNGSI
PENGGERAKAN DAN PELAKSANAAN
(ACCTUATING) DI
RUMAH SAKIT
RS adalah sebuah
organisasi yang sangat kompleks. Manajemennya hampir sama dengan manajemen
sebuah hotel. Yang membedakan hanya pengunjungnya. Pengunjung RS adalah orang
yang sedang sakit dan keluarganya.Mereka pada umumnya mempunyai beban
sosial-psikologi akibat penyakit yang diderita oleh salah seorang dari anggota
keluarganya.
Kompleksitas
fungsi actuating di sebuah RS dipengaruhi oleh dua aspek yaitu:
- Sifat pelayanan kesehatan yang ientasi kepada konsumen penerima jasa pelayanan (customer service). Hasil perawatan pasien sebagai customer RS ada tiga kemungkinan yaitu sembug sempurna, cacat (squalae), atau mati. Apapun kemungkinan hasilnya, kualitas pelayananharus diarahkan untuk kepuasan pasien (customer satisfaction) dan keluarganya.
- Pelaksanaan fungsi actuating cukup kompleks karena tenaga yang bekerja di RS terdiri dari berbagai jenis profesi.
Kompleksitas ketenagaan dan jenis profesi yang dimiliki oleh RS, menuntut
dikembangkannya kepemimpinan partisipatif. Model kepemimpinan manajerial
seperti ini akan menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan mutu pelayanan
RS (quality of services) karena pelayanan kesehatan di RS hampir
semuanya saling terkait satu sama lain. Atas dasar ini, pelayanan di RS harus
mengembangkan sistem jaringan kerja internal (networking) yang solid dan
menunjang satu sama lain.
Semua staf RS harus memahami visi dan misi pengembangan RS serta kebijakan
operasional pimpinan. Untuk menjaga otonomi profesi dari masing-masing SMF,
kualitas pelayanan di RS harus disesuaikan dengan standar profesi yang harus
ditetapkan oleh setiap perkumpulan dokter ahli (ikatan profesi). Stanndar
profesi dikenal denga medical of conduct dan medical ethic juga
harus selalu diperhatikan oleh semua staf SMF dalam rangka menjaga mutu
pelayanan RS (quality of care).
Sehubungan dengan kompleksitas sistem ketenagaan dan misi yang harus
diemban oleh RS, penerapan fungsi actuating di RS akan sangat tergantung
dari empat faktor. Faktor pertama adalah kepemimpinan direktur RS; kedua adalah
koordinasi yang dikembangkan oleh masing-masing Wakil Direktur dengan kepala
SMF dan kepala instalasinya; ketiga adalah komitmen dan profesionalisme tenaga
medis dan non medis di RS (dokter, perawat, dan tenagapenunjang lainnya), dan
keempat adalah pemahaman pengguna jasa pelayanan RS (pasien dan keluarganya)
akan jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS.
Peranan dokter spesialis sangat besar pengaruhnya di dalam penerapan fungsi
actuating ini. Sifat otonomi profesi di tiap-tiap SMF harus diiatur agar
tidak menjadi penghambat penerapan fungsi actuating di RS. Untuk itu,
mereka harus memahami benar visi dan misi RS yang ingin dikembangkan oleh pihak
manajemen (direktur) RS. Oleh karena itu, fungsi RS harus dilihat dalam konteks
kesatuan kerja dari sebuah tatanan sistem yang terpadu.Pelayanan kesehatan
dimasing-masing SMF adalah subsistemnya.
Di pihak lain, intensitas dan frekuensi komunikasi abtara pihak pimpinan RS
dan semua staf profesional harus berlangsung dinamis. Kepemimpinan, komunikasi,
koordinasi merupakan faktor penting didalam pengembangan fungsi actuating.
Ketiganya akan memudahkan penjabaran visi dan misi serta strategi pimpinan RS
menembangkan mutu pelayanan kesehatan di masing-masing SMF.
Di sisi lain, dibutuhkan juga peningkatan keterampilan manajerial di pihak pimpinan
RS sehingga lebih mampu mengintregasikan masing-masing tugas SMF ke dalam satu
kesatuan gerak (networking) yang harmonis dan saling menunjang
peningkatan mutu pelayanan RS demi kepuasan pelanggannya. Jika pendekatan ini
kurang dipahami oleh pihak manajemen RS dan pimpinan SMF, budaya kerja yang
berorientasi kepada peningkatan mutu pelayanan RS tidak akan berkembang.
Meraka cenderung akan bertindak sendiri, arogansi profesi dan dukungan
sarana dan prasarana (input) pelayanan RS (teknologi dan peralatan
kedokteran, logistik, keuangan, dan sebagainya) kurang mendapat perhatian.
Untuk itu pengembangan budaya kerja staf di SMF harus diarahkan untuk mendukung
tercapainya visi dan misi RS. Meraka harus menyadari akan peranannya sebagai
staf RS yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medik dan
kesehatan kepada masyarakat (customer) yang menggunakan jasa pelayanan
RS.
REKAM MEDIS DAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
Dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran terutama di rumah sakit maupun
praktik pribadi, peranan pencatatan Rekam Medik sangat penting dan sagat
melekat pada pelayanaan. RM adalah orang ketiga dalam pelayanan kesehatan.
Catatan demikian akan berguna untuk merekam dan mengingatkan dokter engan
keadaan, hasilpemeriksaan dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien daang
kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, bulan bahkan tahu.
Untuk mendukung peningkatan mutu dan peranan RM dalam pelayanan kesehatan,
IDI juga menerbitkan Fatwa IDI tentang RM, dalam SK No. 315/PB/A.4/88, yang menekankan
bahwa praktek profesi kedokteran harus meaksanakan RM, tidak saja untuk dokter
yang bekerja di rumah sakit tetapi juga bagi dokter yang praktik pribadi.
Sebelum RM populer seperti sekarang kalangan kesehatan dulunya menggunakan
istilah status pasien tetapi belakangan ini orang lebih cenderung
menngunakan istilah Rekam Medis sebagai terjemahan dari medical record.
RM adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasilanamnesis, pemeriksaan
dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dar waktu ke
waktu. Catatan ini berupa tulisan maupun gambar, dan belakangan ini dapat pula
berupa rekaman elektronik seperti komputer, mikrofilm dan rekaman suara.
Dalam PERMENKES No. 749a/MenKes/XII/89 tentang RM disebut pengertian RM
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.
Di rumah sakit
terdapat 2 jenis RM, yaitu:
- RM untuk pasien rawat jalan
- RM untuk pasien rawat inap
Untuk pasien
rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat RM mempunyai informasi pasien antara
lain:
- Identitas dan formulir perizinan
- Riwaya penyakit
- Laporan pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan laboratorium.
- Diagnosa atau diagnosis banding
- Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang.
Untuk pasien
rawat inap, sama seperti sebelumnya hanya denagan tambahan:
- Persetujuan tindakan medik
- Catatan konsultasi
- Catatan perawat da tenaga kesehatan lainnya
- Catatan observasi klinik dan pengobatan
- Resume akhir dan evaluasi pengobatan
Untuk di rumah
sakit biasanya yang terpenting pelu diperhatikan untuk pasien rawat inap,
yaitupenmbuatan resume akhir. Yang isinya antara lain menjelaskan :
- Anamnesis
- Hasil penting pemeriksaan fisik diagnostik, laboratorium, rongent dan lain – lain.
- Pengobatan dan tindakan operasi yang dilaksnakan.
- Keadaan pasien waktu keluar
- Anjuran pengobatan dan perawatan.
Tujuan
pembuatan resume ni antara lain:
- Untuk menjamin kontinuitas pelayanan medik dengan kualitas yang tinggi serta bahan yang berguna bagi dikter pad awaktu menerima pasien untuk dirawat kembali.
- Bahan penilai staf medik rumah sakit
- Untuk memenuhi permintaan dari badan – badan resmi tentang perawatan seorang pasien.
- Sebagai bahan informasi bagi dokter yang bertugas, dokter ang mengirim, dan dokter konsultan
Secara umum
kegunaan RM adalah:
- Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenga kesehatan lainnya yang ikut andil dalam pelayanan kesehatan.
- Merupakan dasar untuk perencanaan pengobatan dan perawatan yang harus diberikan kepada pasien
- Sebagai bukti tertulis segala pelayanan, perkembnagna penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung atau dirawat di rumah sakit.
- Sebagai dasar analisis, study, evaluasi terhadap mutupelayanan yang di beriakn kepada pasien
- Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya
- Menyedikan data – data khusus yang sangat berguna untuk penelitian dan pendidikan
- Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien
- Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan
Dalam
pelaksanaan kegunaan RM di atas maka staf medik dan tenaga kesehatan lainnya
dituntut untuk mengisi RM scara cepat, akurat, dan mudah dibaca. Tanpa adanya
informasi medik yang dicatat dengan baik oleh kalangan medik maupun paramedik,
maka kegunaan seperti yang di kemukakan sebelumnya tidak akan tercapai.
INDIKATOR
PENILAIAN MUTU ASUHAN KESEHATAN
Mutu asuhan kesehatan
sebuah RS akan selalu terkait dengan struktur, proses, outcome sistem pelayanan
RS yersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat
pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat
efisiensi RS.
Aspek struktur
Struktur adalah
semua masukan (input) untuk system pelayanan sebuah RS yang meliputi
tenaga, peralatan, dana dan sebagainya. Ada sebuah asuransi yang mengatakan
bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik, akan lebih menjamin mutu
asuhannya. Baik tidaknya struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas,
biaya, efisiensi, mutu dari masing – masing komponen struktur.
Proses
Proses adalah
semua kegiatan dokter dan tenaga professional lainnya yang mengadakan interaksi
secara profesional dengan pasiennya. Interaksi ini diukur antara lain dalam
bentuk penilaian tentang pasien, penegakan diagnosa, rencana tindakan
pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur pengobatan.
Dalam hal ini
juga dianut asumsi bahwa semakin patuh tenaga profesi menjalankan ”standards
of good practice” yang telah diterima dan diakui oleh masing – masing
ikatan profesi, akan semakin tinggi pula mutu asuhan terhadap pasien. Baik
tidaknya pelaksanaan proses pelayanan di RS dapat diukur dari tiga aspek yaitu
relevan tidaknya proses itu bagi pasien, efektivitas prosesnya, dan kualitas
interaksi asuhan terhadap pasien.
Outcome
Outcome adalah
hasil akhir kegiatan dokter dan tenaga profesi lainnya di RS terhadap pasien.
Di sini diperlukan pedoman untuk mengukur mutu asuhan pelayanan kesehatan.
Indikator mutu pelayanan medis meliputi :
- Angka infeksi nosokomial
- Angka kematian kasar (Gross Death Rate)
- Kematian pasca bedah
- Kematian ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
- Kematian bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
- NDR (Net Death Rate di atas 48 jam)
- ADR (Anasthesia Death Rate)
- PODR (Post Operation Death Rate)
- POIR (Post Operative Infection Rate)
Indikator mutu
pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS :
- Unit cost untuk rawat jalan
- Jumlah penderita yang mengalami dekubitus
- Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur
- BOR (Bed Occupancy Rate)
- BTO (Bed Turn Over)
- TOI (Turn Over Interval)
- ALOS (Average Length of Stay)
- Normal Tissue Removal Rate
Indikator mutu
yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien dapat diukur dengan :
- Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya
- Surat pembaca di koran
- Surat kaleng
- Surat masuk dari kotak saran, dan sebagainya
- Survei tingkat kepuasan pengguna pelayanan kesehatan RS
Indikator
cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari :
- Jumlah dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
- Jumlah pelayanan dan tindakan medik
- Jumlah tindakan pembedahan
- Jumlah kunjungan SMF spesialis
- Pemfaatan oleh masyarakat
- Contact rate
- Hospitalization rate
- Out patient rate
- Emergency out patient rate
Untuk mengukur
mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas dibandingkan
dengan standar (indikator) nasional. Jika tidak ada angka standar nasional,
penilaian dialkukan dengan menggunakan hasil pencatatan mutu pada tahun
sebelumnya di RS yang sama setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen /
direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang
terkait.
Indikator mutu
yang mengacu pada keselamatan pasien:
- Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi
- Pasien diberi obat yang salah
- Tidak ada obat/alat emergensi
- Tidak ada oksigen
- Tidak ada alat penyedot lendir
- Tidak tersedia alat pemadam kebakaran
- Pemakaian obat tidak sesuai standar
- Pemakaian air, listrik, gas, dan sebagainya.
Mutu pelayanan
medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS (quality
of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality
of care). Keduanya merupakan oucome dari manajemen manjaga mutu di RS (quality
assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal ini,
gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite medik RS karena mereka adalah
staf fungsional (nonstruktural) yang membantu direktur RS dengan melibatkan
semua staf SMF RS.
Rumus untuk
menghitung mutu pelayanan RS
BOR (Bed
Occupancy Rate)
Persentase
pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu. Indikator ini
memberikan gambaran tentang tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur
RS.
Jumlah hari
perawatan RS dalam waktu tertentu x 100%
Jumlah TT x
Jumlah hari dalam satu satuan waktu
ALOS (Average
Length of Stay)
Rata-rata
lamanya perawatan seorang pasien. Indikator ini di samping merupakan gambaran
tingkat efisiensi manajemen sebuah RS, indikator ini juga dapat dipakai untuk
mengukur mutu pelayanan apabila diagnosis penyakit tertentu dapat dijadikan
tracernya (yang perlu pengamatan lebih lanjut).
Jumlah hari
perawatan pasien keluar rumah sakit
Jumlah pasien
keluar rumah sakit (hidup + mati)
BTO (Bed
Turn Over)
Frekuensi
pemakaian tempat tidur dalam satu satuan waktu (biasanya per tahun) tempat idur
RS. Indikator ini akan memberikan gambaran tingkat pemakaian tempat tidur RS.
Jumlah pasien
keluar RS (hidup + mati)
Jumlah tempat
tidur
TOI (Turn
Over Interval)
Rata-rata hari
tempat tidur tidak ditempati dari saat ke saat sampai terisi berikutnya.
Indikator ini juga menberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat
tidur.
(Jumlah TT x
hari) – hari perawatan RS
Jumlah pasien
keluar (hidup + mati)
NDR (Net
Death Rate)
Angka kematian
di atas 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 100 penderita keluar RS.
Jumlah pasien
mati di atas 48 jam dirawat x 100%
Jumlah pasien
RS – kematian di bawah 48 jam
GDR (Gross
Death Rate)
Angka kematian
umum penderita keluar RS
Jumlah pasien
mati seluruhnya dirawat x 100%
Jumlah pasien
keluar (hidup + mati)
Net Death Rate
Total kematian
> 48 jam dalam periode waktu tertentu x 100%
Total pasien
keluar hidup & mati dalam periode yang sama
Net Infection
Rate
Total penderita
infeksi yang didapat RS dalam periode tertentu x 100%
Jumlah pasien
keluar hidup & mati dalam periode yang sama
Anasthesia
Death Rate
Total kematian
Anasthesia dalam periode tertentu x 100%
Total pasien
yang mendapat anasthesia dalam periode yang sama
Post Operation
Death Rate
Total kematian
dalam 10 kali operasi dalam periode waktu tertentu x 100%
Total pasien
yang dioperasi dalam periode yang sama
Normal Tissue
Removal Rate
Total normal
tissue yang diangkat x 100%
Total tissue
yang diperiksa
Maternal Death
Rate
Jumlah pasien
kebinanan yang meninggal dalam periode tertentu x 100%
Jumlah pasien
kebidanan yang eluar hidup + mati
Foetal Death
Rate
Jumlah kematian
bayi dengan U.K.>20 minggu x 100%
Jumlah semua
kelahiran dalam periode tertentu
Contact Rate (5
mil)
Total pasien
keluar hidup + mati x 100%
Jumlah populasi
Hospitalization
Rate
Total hari
rawat x 100%
Jumlah populasi
Out Patient
Rate
Total kunjungan
(baru + lama) x 100%
Jumlah populasi
Emergency Out
Rate Patient
Total kunjungan
pasien gawat darurat x 100%
Jumlah populasi
Hasil
perhitungan standar mutu pelayanan RS tersebut harus dibandingkan dengan
masing-masing standar mutu nasional. Untuk ukuran mutu yang tidak ada standar
nasionalnya, angkanya dibandingkan dengan hasil penilaian tahun-tahun
sebelumnya.
Standar
nasional untuk asuhan kesehatan RS di Indonesia
1. BOR :
75-85%
2. ALOS : 7-10
hari
3. TOI : 1-3
hari
4. BTO : 5-45
hari
5. NDR (48 jam)
: < 2,5%
6. GDR : <3%
7. Anasthesia
Death Rate : 1/5000
8. Post
Operation Death Rate : <1%
9. Post
Operative Infection Rate : <1%
10. Normal
Tissue Removal Rate : <10%
11. Maternal
Death Rate : <0,25%
12. Neonatal
Death Rate : <2%
13. Angka
Infeksi Nosokomial : 1-2%
KESIMPULAN
Pihak-pihak
yang berperan dalam manajemen rumah sakit adalah dokter, dokter umum dan
spesialis, dokter gigi, perawat, farmasis, fisioterapis tekhnisi dan lain-lain
yang bekerja di rumah sakit tersebut. Untuk mencapai organisasi rumah sakit
yang baik diperlukan penerapan manajemen yang baik pula.
SARAN
Masing-masing
profesi yang bekerja di rumah sakit sebaiknya mengetahui bagaimana suatu fungsi
manajemen yang baik agar dapat menjalankan profesinya tersebut sekaligus
menjaga jalannya fungsi rumah sakit yang baik dan benar.
* Penulis adalah pemerhati Rumah
Sakit/Kesehatan
No comments:
Post a Comment