Oleh : dr.Andre Gunawan
Pertama-tama mungkin perlu diketahui latar
belakang pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah. Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh
penyelenggara Negara dewasa ini dirasa belum memuaskan masyarakat,
contohnya;
(1) dalam memberikan pelayanan tidak cepat
namun terjadi prosedur yang berbelit-belit (kalau bisa dipersulit mengapa
dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?);
(2) adanya diskriminasi pelayanan, kalau
masyarakat yang bersangkutan mempunyai jabatan atau uang, akan cepat dilayani,
akan tetapi kalau masyarakat biasa (miskin) entar dulu;
(3) biaya tidak transparan, katanya gratis
tetapi kenyataan di lapangan masih harus bayar, membayarnyapun tidak ada
standarnya;
(4) adanya budaya kerja aparatur yang belum
baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau sudah jadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama;
(5) waktu penyelesaian pemberian pelayanan
yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat selesai dua hari, kenyatan
di lapangan bisa sampai dua minggu;
(6) banyaknya praktek pungutan liar, ini yang
sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya klasik “ gaji” kurang,
yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin remunerasinya
tinggi pungli tidak ada? Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap
penyelenggara pelayanan di mata masyarakat. Sehingga akan berdampak pada
rendahnya daya saing bangsa dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, kenapa?
Karena investor tidak mau lagi menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum
sudah dipalak sehingga mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari
ke Negara lain seperti Vietnam, Singapura dan lain-lainnya.
Seperti
kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
(1)
Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yang operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya tidak mencari
keuntungan (non profit);
(2)
Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang dalam operasionalnya sebagian
dari APBD dan sebagian lagi dari hasil jasa layanan yang diberikan, sifatnya
tidak semata-mata mencari keuntungan (not for profit); dan
(3)
Private Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya
seluruhnya berasal dari hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah)
dan bersifat mencari keuntungan (profit oriented).
Konsep
pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi public goods,
adalah lembaga tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya,
khususnya yang berasal dari jasa layanan, dengan konsekuensi lambat laun
pendanaan yang bersumber dari APBD presentasenya semakin dikurangi. Sehingga
diharapkan dikemudian hari bisa mandiri. Alokasi anggaran berasal dari APBD
yang selama ini dipergunakan untuk membiayai perangkat daerah tersebut
dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang bersifat public goods, misal
untuk pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru (kaitannya dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Sehingga ke depan APBD hanya fokus
untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan,
bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada perangkat daerah yang secara
operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat. Sekarang yang
menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan
dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Makna dari
pengertian ini adalah:
(1) BLUD merupakan perangkat daerah,
mempunyai pengertian bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah yang tidak
dipisahkan;
(2) Perangkat daerah yang dapat menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai Pengguna Anggaran) atau
Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran);
(3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau Unit Kerja tersebut memberi
pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata mencari keuntungan;
dan
(4) Kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan dalam rangka
efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan pada masyarakat. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah
yang bersifat quasi public goods.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD merupakan Pola Pengelolaan Keuangan
yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan diberikan fleksibilitas, yaitu
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Dari pengertian tersebut, SKPD atau
Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja sudah menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya pemahaman
bahwa BLUD merupakan suatu “kelembagaan”, padahal hanya merupakan Pola
Pengelolaan Keuangan saja. Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD “lembaganya
harus ada terlebih dahulu”. Pengaturan kelembagaan di daerah dengan Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, dengan mempedomani Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
II. Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD.
Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan
bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus memenuhi beberapa persyaratan. Pemerintah
Daerah harus selektif dan obyektif dalam menetapkan SKPD atau Unit Kerja untuk
menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberikan
pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD. Persyaratan untuk
menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis; dan (3)
administratif.
Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau
Unit Kerja tersebut menurut tugas dan fungsinya memberi pelayanan langsung
kepada masyarakat dalam bentuk
(a) penyediaan barang dan jasa, seperti
penyediaan layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan
Laboratorium), pendidikan (sekolahan, pendidikan dan pelatihan), transportasi
(terminal, jasa penyeberangan, jasa transportasi), pariwisata (pengelolaan
wisata daerah), perdagangan (pasar tradisional), kebersihan (pengelolaan
sampah, limbah), penyediaan bibit/pupuk, dan lain-lainnya;
(b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu
untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, seperti
pengelolaan kawasan ekonomi di suatu wilayah;
(c) pengelolaan dana khusus dalam rangka
meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat, seperti pengelolaan
dana bergulir, pengelolaan dana perumahan.
Persyaratan teknis terpenuhi, apabila SKPD
atau Unit Kerja tersebut kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak
dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD, serta kinerja keuangannya
sehat.
Persyaratan administratif, apabila SKPD atau
Unit kerja menyampaikan dokumen persyaratan, yang meliputi
(1) surat pernyataan kesanggupan untuk
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
(2) pola tata kelola;
(3) rencana strategis bisnis;
(4) standar pelayanan minimal;
(5) laporan keuangan pokok atau
prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan
(6) laporan audit terakhir atau pernyataan
bersedia untuk diaudit secara independen.
Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan
administratif yang sangat menentukan dapat tidaknya SKPD atau Unit Kerja
menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari dokumen administratif tersebut
akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, yang
anggotanya paling sedikit terdiri dari: (1) Sekretaris Daerah, sebagai ketua
merangkap anggota;
(2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD),
sebagai sekretaris merangkap anggota;
(3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, sebagai anggota;
(4) Inspektorat Daerah, sebagai
anggota;
(5) Tenaga ahli (kalau diperlukan) sebagai
anggota.
Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi
kepada Kepala Daerah, layak tidaknya usulan SKPD atau Unit Kerja tersebut untuk
menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai harus betul-betul memahami konsepsi
BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya sekedar ganti nama belaka dan
tidak akan tercapai tujuan BLUD. Untuk itu, dalam memudahkan tim penilai dalam
menilai dokumen administratif, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat
Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal Pedoman Penilaian
Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian dari tim
penilai, Kepala Daerah memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit
Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Kalau usulan diterima, penetapan penerapkan
PPK-BLUD dengan Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan Kepala Daerah
atau Peraturan Daerah). Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD
Bertahap, yang membedakan dari status BLUD tersebut adalah dalam pemberian
fleksibilitasnya. Untuk BLUD dengan status penuh, diberikan seluruh
fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Sedangkan BLUD Bertahap, diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu
berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang,
pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur
pengelolaan keuangan serta tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan
investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.
III. Fleksibilitas BLUD
SKPD atau Unit Kerja yang menerapkan PPK-BLUD
diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya, antara lain:
1. Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa
layanan dapat digunakan langsung untuk membiayai kegiatannya, sehingga tidak
masuk kas daerah terlebih dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah Sakit
Daerah, kalau Rumah Sakit Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
BLUD, pendapatan harus disetor ke Kas Daerah (tidak boleh digunakan langsung).
Kita mungkin perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah RSD memerlukan
obat bagi pasiennya dengan sangat segera, sementara obat di RSD tersebut sudah
tidak mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau RSD tersebut belum
menerapkan PPK-BLUD maka pencairan dananya harus melalui mekanisme dalam APBD
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berapa waktu yang harus
diperlukan sampai tersedianya obat-obatan tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak
tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan yang bersumber dari APBD atau APBN
dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna bahwa BLUD
yang telah memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui
APBN) atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan
tersebut. Dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah membeli jasa layanan
yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN atau APBD tersebut dapat
diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.
2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD
boleh melampaui pagu yang telah ditetapkan (flexsible budget) sepanjang
pendapatan atau belanjanya bertambah atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa
tidak boleh melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA).
3. BLUD boleh melakukan utang/piutang,
investasi, dan kerjasama. Utang atau pinjaman dan investasi jangka panjang
harus dengan persetujuan Kepala Daerah. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh
melakukan utang/piutang, investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah
Pemerintah Daerah.
4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan
yang berasal selain dari APBD atau APBN boleh tidak dengan Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah atau perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam
pengadaan barang dan jasa dimaksud, adalah untuk mempercepat pelayanan yang diberikan.
Namun tetap dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak
diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.
5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus
aset tidak tetap. Sebagai contoh, RSD yang telah menerapkan BLUD, boleh
menghapus aset-aset yang sudah tidak produktif atau sudah tidak efisien lagi.
Seperti tempat tidur pasien yang sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang
lebih baik dijual. Hasil dari penjualan aset tersebut merupakan pendapatan
BLUD.
6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh
Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non PNS. Pegawai Non PNS diperlukan sepanjang
BLUD yang bersangkutan sangat membutuhkan dan dalam rangka peningkatan pelayan.
Kriteria pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang
betul-betul profesional, jangan sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan
dari para pejabat yang berpengaruh di daerah tersebut. Pemimpin BLUD harus
mempunyai komitmen dan berani menolak kalau memang tidak masuk dalam kriteria
yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa setiap tahun antara pemimpin BLUD
dengan kepala daerah menandatangani perjanjian kinerja (contractual performance
agreement). Apa makna dari perjanjian kinerja dimaksud? Kepala daerah
menugaskan pemimpin BLUD untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum dan
berhak mengelola dana sesuai yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA) BLUD. Apa sanksi kalau kinerjanya tidak tercapai? Pemimpin BLUD bisa
dicopot dari jabatannya. Untuk itu, pengelola dan pegawai BLUD harus yang
benar-benar profesional, karena jabatan taruhannya. Sehingga jadi pemimpin
BLUD, seperti duduk di kursi panas, setiap tahun bisa dilengserkan.
7. BLUD boleh mengangkat Dewan Pengawas,
sepanjang asset maupun omsetnya memenuhi persyaratan sebagaimana yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk saat ini diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan
Umum. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, disebutkan bahwa Dewan
Pengawas dapat berjumlah 3(tiga) orang kalau nilai asetnya sebesar 75 (tujuh
puluh lima) miliar rupiah sampai dengan 200 (dua ratus) miliar rupiah, atau
nilai omsetnya antara 15 (lima belas) miliar sampai dengan 30 (tiga puluh)
miliar rupiah setahun. Sementara itu, Dewan Pengawas dapat berjumlah antara 3
(tiga) atau 5 (lima) orang kalau nilai asetnya diatas 200 (dua ratus) miliar
rupiah atau nilai omsetnya di atas 30 milai rupiah setahun. Lalu siapa yang
berhak jadi Dewan Pengawas? Untuk BLUD-SKPD adalah Sekretaris Daerah, Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah dan Tenaga Ahli. Sedangkan BLUD Unit Kerja, terdiri
dari Kepala SKPD induk, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan Tenaga Ahli.
Bolehkah Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas? jawabannya tidak. Karena dilihat
dari tugas Dewan Pengawas salah satunya adalah melaporkan kepada Kepala Daerah
tentang kinerja BLUD. Kalau Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas, maka Kepala
Daerah tersebut melaporkan kepada dirinya sendiri, bisa diistilahkan jeruk
makan jeruk.
8. Remunerasi pejabat pengelola BLUD, dewan
pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan remunerasi
sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang
diperlukan. Sehingga tidak lagi pengaturannya seperti PNS, kalau golongan dan
masa kerja sama, gaji yang diterima setiap bulan akan sama. Namun kalau sudah
jadi BLUD besaran remunerasi dapat dihitung berdasarkan indikator penilaian
antara lain: (1) pengalaman dan masa kerja (basic index); (2) ketrampilan, ilmu
pengetahuan dan perilaku (competency index); (3) resiko kerja (risk index); (4)
tingkat kegawatdaruratan (emergency index); (5) jabatan yang disandang
(position index); dan (6) hasil/capaian kinerja (performance index).
9. Penetapan tarif BLUD, ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Daerah (bukan dengan Peraturan Kepala Daerah). Kenapa? Karena
untuk mempercepat proses penetapan dan efisiensi biaya. Namun demikian,
penetapan tarif harus mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan,
daya beli masyarakat, serta kompetisi yang sehat. Selain itu, dalam penetapan
tarif, Kepala Daerah dapat membentuk tim untuk mengkaji kelayakan besaran tarif
yang akan ditetapkan, yaitu dengan melibatkan pembina teknis, pembina keuangan,
unsur perguruan tinggi dan lembaga profesi. Penetapan tarif pada BLUD mestinya
berdasarkan unit cost. Untuk kasus RSUD Wangaya Denpasar yang besaran tarif
untuk kelas III sebesar Rp.33.000, yang sebelumnya Rp.11.000,- supaya tidak
memberatkan masyarakat mestinya masih ada subsidi dari APBD. Untuk itu, kalau
besaran tarif sebesar Rp.33.000,- tersebut sudah berdasarkan perhitungan unit
cost, namun kalau pemerintah daerah yang bersangkutan mempunyai komitmen untuk
membantu masyarakat golongan bawah, maka yang dibebankan kepada masyarakat
tidak harus sebesar angka tersebut, misalnya Rp.20.000, maka sisanya sebesar
Rp. 13.000,- dibayar oleh pemerintah daerah kepada RSUD Wangaya sebagai
pendapat RSUD tersebut. Namun juga perlu diingat bahwa nilai uang sebesar
Rp.11.000,- saat ini sampai di mana? Namun demikian, masyarakat hendaknya juga
berfikir realistik, kalau pasien dirawat inap harus makan tiga kali sehari?
Apakah cukup Rp.11.000,- tersebut? Bisa-bisa pasien sudah sehat tidak mau
pulang karena makannya lebih terjamin. Demikian juga yang harus disadari oleh
masyarakat yang mampu (golongan menengah-atas), jangan sampai kalau sakit jadi
miskin (sadikin). Untuk itu, perlu dipahami oleh jajaran pemerintah daerah,
bahwa SKPD atau Unit Kerja yang sudah menerapkan PPK-BLUD, kewajiban pemerintah
daerah dalam hal ini APBD masih tetap diperlukan dalam meningkatkan
pelayanannya. Karena pendapatan BLUD itu minimal sama dengan belanja/biayanya.
10. Dalam menyusun Laporan Keuangan, BLUD
merupakan perangkat daerah yang tidak dipisahkan. Untuk itu laporan keuangan
BLUD merupakan bagian dari laporan keuangan SKPD atau Pemerintah Daerah. BLUD
akuntansinya wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sementara laporan Keuangan Pemerintah
menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, maka di
sini perlu adanya konsolidasian dalam menyusun laporan keuangan BLUD.
Dengan adanya kemudahan/fleksibilitas yang
diberikan sebagaimana tersebut di atas, hendaknya menerapkan PPK-BLUD jangan
hanya mengejar fleksibilitas dimaksud. Namun harus disadari, menerapkan
PPK-BLUD karena mempunyai kemauan untuk meningkatkan kinerja keuangan, kinerja
manfaat dan kinerja pelayanan. Dilain pihak, dalam implementasinya sampai saat
ini masih ada keragu-raguan dari para pejabat di daerah tentang keberadaan dari
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 dimaksud, karena di dalam
hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri tidak termasuk di dalamnya.
Sehingga sering muncul pertanyaan, “masa Permendagri menabrak Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah”. Untuk itu, dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Peraturan Menetri
Dalam Negeri 61 Tahun 2007 tersebut ada karena amanat dari Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 150,
dimana disebutkan “Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan
Menteri Keuangan”. Untuk itu, keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri
tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan Menetri Dalam
Negeri tersebut hendaknya bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005, karena antara keduanya merupakan satu kesatuan.
IV. Keberhasilan Implentasi Penerapan BLUD
Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam
menunjang keberhasilan implementasi BLUD?
1. Perlunya peningkatan kapasitas SDM,
perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan (enterpreneurship) bagi
stakeholder terkait mulai dari kepala daerah, sekretaris daerah, PPKD, Kepala
BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen
pendukung sebagai penjabaran dari ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
61 Tahun 2007 untuk digunakan sebagai pedoman operasional implementasi
PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim Penilai, Standar Pelayanan Minimal, dan
Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah terkait dengan fleksibilitas yang
diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi
mengenai Rencana Strategis (RENSTRA) Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA),
Tata Kelola, Standar Pelayanan Minimal, Standar Akuntansi Keuangan (SAK),
konsolidasian RBA dan laporan keuangan dengan APBD.
V. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan
obyektif oleh Pemerintah Daerah, tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi
pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan
SDM-nya dan perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar
fleksibilitas yang diberikan, tetapi dalam rangka peningkatan kinerja
pelayanan, kinerja manfaat, dan kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods,
sehingga peran APBD masih tetap diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD,
perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat
kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan
pendukung, serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.
No comments:
Post a Comment